Legenda Daerah Brebes “Jaka Poleng”
Gunung Slamet yang perkasa masih terlihat malu-malu membiru,
diburu kelabu biru-biru kabut, dikejar kuning kemuning senja di balik
punggungnya.Rerumputan, kayu jati, bunga dan dedaunan masih menggigil
kedinginan. Kaki-kakinya basah,berembun. Tes… tes… tes menetes
air yang semalam sampai sepertiganya masih berwujud asap-asap purba mengembara
dari gunung kini menetes dari daun yang paling atas, jatuh ke daun yang paling
bawahdan tergelincirlah ia jatuh membenam ke tanah sesuai sunah-Nya. Kesibukan
sudah mulai sebelum alarm alamiah dari bengokan ayam jago yang menggaung
sahut-menyahut dari kaki Gunung Slamet hingga bibir Pantai Randusanga.
Pagi itu, di sebuah halaman belakang Kabupaten Brebes, Bi
Ojah sedang sibuk menggaruk-garuk tanah dengan sapu lidinya.Beberapa menit
setelahnya sampah daun melinjo dan mangga kering terkumpul dan siap untuk
dibakar. Seorang pemuda gagah nampak berlari tersaruk-saruk oleh sarungnya
masuk dari pintu belakang. “Biiii….,” teriaknya sambil terus berlari
menuju kandang kuda yang terletak sepuluh meter di pojok kanan halaman belakang
kabupaten. Ya, dialah Laksito. Selepas sholat subuh beginilah pekerjaannya:
merawat Kyai Genta kuda kesayangan Sinuwun Gusti Kanjeng Bupati. Dia anak pangon
(Anak gembala bayaran : Ind) kesayangan Kanjeng Bupati, rapi pekerjaannya
dan tekun ibadahnya. “Wah…. ingin aku selalu melihat Laksito merawat Si
Genta.”Kata-kata puas dan sanjung puji selalu Bupati berikan karena puas
melihat hasil kerja Laksito.
Setelah kandang dan kudanya sudah selesai dibersihkan
biasanya, Laksito menikmati seduhan teh poci dan kue alu-alu yang tiap hari
disediakan Bi Ojah. Barulah ia berangkat menuju persawahan untuk mencari rumput
hijau, makanan pokok untuk Kyai Genta kuda rawatannya. “Bi… aku berangkat
kesawah dulu yah…,” kata Laksito berpamitan dengan Bi Ojah sambil
menyangkutkan dua keranjang bambu kosong wadah rumput ke bahu sebelah kananya,
sebuah sabit tanpa warangka (Sarung : Ind.). Ditaruhnya sabit itu
di salah satu keranjang bambunya, lalu hilanglah sosok Laksito dibalik pintu
gerbang pendopo kabupaten.
Laksito menelusuri pematang sawah yang tanahnya masih lembab
terkena embun, menuju kaki Bukit Wanasari yang rumputnya hijau dan
lebat.Setelah sampai, Laksito tanpa ragu menyabit semua rumput gajah yang
tumbuh liar di kaki bukit.Setelah satu keranjang terisi penuh, Laksito pun
merasa lelah. Ia pun mereguk air kendi yang ia bawa dan selalu ia minum dibawah
pohon besar rindang di kaki Bukit Wanasari. Angin yang mengipis sangat sepoi,
keringat Laksito yang semula lantis bercucur perlahan berhenti.Rasa lelah pun
berganti rasa kantuk. Saat mata Laksito mulai sayup-menyayup hampir tenggelam
dalam tidurnya, ia melihat Ula Poleng (Ular Belang :
Ind) besar bermahkota emas di kepalanya melintas di depannya. Laksito
mengusap-usap matanya beberapa kali untuk meyakinkan penglihatannya. Setelah
yakin ia sedang tidak bermimpi Laksito mengendap-endap dari belakang, mengikuti
ke mana ular ajaib bermahkota emas itu akan pergi. Langkah kelok-keloknya berhenti
di sebuah semak rimbun. Laksito hanya bisa melihat ekornya yang terus
bergoyah-goyah ke kanan dan ke kiri, sesekali memutar. “Wah, kenapa yah…
apa ini tafsir dari mimpiku semalam, aku bertemu Raja Ular, ya?” Laksito
memalingkan mukanya dan bergumam sendiri sambil jempolnya menyaruk janggutnya.
Setelah sekian waktu Laksito terbengong sampai tak sadar
ular belang bermahkota emas itu pergi dan meninggalkan selaput kulit
benang-benang berwarna putih berkilau-kilau.Laksito pun memungut sisik tua ular
belang itu dan menyimpannya di kantong. Lalu ia mulai lagi menyelesaikan
pekerjaannya mengisi penuh keranjang bambu wadah rumputnya sampai penuh. “Huuhh…selesai
juga akhirnya, ” ucap Laksito sambil menyeka keringat yang mengucur
di dahinya dengan tangannya. Laksito pulang dengan memikul dua keranjang penuh
rumput.Sesekali untuk mengusir sepi, Laksito berdendang lagu kesukaannya, Gambang
Siuling sambil nafasnya terengah-engah. Datang membawa rumput.
Gambang
suliiiing…
Kumandang
Swaranee…
Tulat…tulit
Kepenak Uninee…
Unineemuu…
Ngrenyuh ake baaa…
Lenrang
kentrungkeeeen…
Tipung
suling…
Siiiii’rak
kendanganeee…
Sepanjang perjalanan pulang hingga sampai ke pintu gerbang
pendopo Kabupaten Brebes, Laksito merasakan ada hal aneh yang ia rasakan.
Setiap orang yang berpapasan dengannya tak menjawab sapaannya.
Rumput sudah Laksito tempatkan di sebuah gubug kecil tempat
menyimpan pakan-pakan kuda.Sambil berjalan menuju Bi Ojah yang nampak sedang
sibuk di dapur.Laksito menyipas-ipaskan ikat kepalanya yang sudah terlepas kearah
mukanya sambil dahinya mengernyit-ngernyit tak tahan menadah sinar matahari
yang jatuh di mukanya. “Bii…. Masak apa? Lapar aku Bii…,”teriak Laksito sambil
tangannya dengan cekatan menyambar mendoan tempe yang masih ditiriskan dari
minyaknya. Alih-alih menjawab pertanyaan Laksito, Bi Ojah terperanjak sampai
abu dari pawon (tungku : Ind) yang sedang Bi Ojah tiup-tiup
dengan selongsong bambu menyembur buyar beterbangan tak karuan. “Duh Gusti…
Gusti… Siapa itu….,” teriak Bi Ojah sambil mengusap-usap mukanya yang kini
berwarna putih penuh abu. “Bi, aku Sito Biii… aku di sini, Bi di samping
Bibi….,” sahut Laksito sambil merengkuh tangan Bi Ojah yang sedang
menodongkan selongsong bambu entah maksudnya apa. “Haaaahhh…. Kamu setan
pasti…. Setan…setaaaannn…tolooongg Gustiii…,”Bi Ojah berteriak-teriak sambil
meronta-ronta mencoba melepaskan tangannya yang dipegang Laksito yang sudah
kasat mata.
Mendengar suara gaduh dari belakang dapur Gusti Kanjeng
Bupati berlari keluar ke belakang menuju dapur. “Tenang Bi Ojah… ada apa ini…
ada apa ini?” sambut Gusti Bupati sambil menenangkan Bi Ojah yang terus
berteriak-teriak dan meronta-ronta. “A..aaa…aaa…ampun Gusti… tadi ada suara
tapi tak ada wujudnya mengaku Laksito…itu Jin Gusti…Jin…,” tukas Bi Ojah
tergagap-gagap, sambil matanya berkedip-kedip tanpa irama. “To, Laksito,
Cah bagus, Cah sigit, apa benar sejatinya kau memang Laksito?”
tanyanya tenang dan berwibawa. “Iya Gusti, ini hamba. Benar-benar
hamba, abdi kinasih Gusti, Laksito.” Suara tanpa wujud itu menyahuti
pertanyaan Gusti Bupati. “Kenapa kamu bisa seperti ini Laksito? Ada apa
gerangan? Ceritakan Laksito?” tanya Gusti Bupati seolah-olah sedang berhadapan
dengan sosok Laksito yang kasat mata. “Hamba sendiri bingung Gusti, hanya tadi
saya mengambil sisik ular yang terlepas”, papar Laksito yang kasat mata.
Bi Ojah dan beberapa pelayan nampak celingukan kadang
menatap keatas langit-langit dapur sambil mengusap kuduk-kuduknya, serba
bingung dan takut mereka dibuatnya. “Baik Laksito, di mana kamu simpan sisik
ular itu?” Gusti Bupati melanjutkan interogasinya pada sosok Laksito yang
kini seperti manusia dalam gambaran syair “Padamu Jua” Karya Raja
Penyair Amir Hamzah : “Dimana engkau…, Rupa tiada…, Suara sayup…,
Hanya kata merangkai hati …
“Di
kantong hamba, Gusti,” jawab Laksito.
“Baiklah
sekarang coba kamu keluarkan sisik ular itu. Buang jauh dari
badanmu!”, saran Gusti Bupati sambil jari telunjuknya memberi aba-aba agar
Laksito meletakannya di atas meja makan bundar yang ada di dapur. Benarlah
ketika sisik ular itu dikeluarkan dari kantong Laksito dan ia taruh di meja,
sosok Laksito pun dapat terlihat lagi. Bi Ojah berteriak kegirangan usai sudah
rasa takutnya. Kalau benar-benar Laksito sampai hilang dan menjadi manusia
tanpa wujud, pastilah ia akan sangat berduka dan sedih. “To, Laksito…
ealah, Nang!” sambut Bi Ojah sambil menepuk-nepuk punggung Laksito.
Rasa senang dan bahagia Bi Ojah, Laksito dan beberapa abdi
yang juga teman Laksito hanya berlangsung sebentar.Tragedi besar segera
terjadi.Gusti Bupati yang melihat bahwa sisik ular yang dibawa Laksito tanpa
sengaja itu bertuah, membuatnya berhasrat untuk memilikinya.
“Ya
sudah, To, sekarang aku yang simpan saja sisik ular itu,” pinta Gusti
Bupati sambil tanganya mengangsur ke arah Laksito yang sedang tersimpuh di
depan Gusti Bupati.
“Mohon
maaf Gusti, hamba tidak dapat memberikannya. Itu amanat besar dari Tuhan
untuk saya.”Jawab Laksito sambil memadukan kedua telapak tangannya, menyembah
menundukan kepalanya.
“Hmmmm
…nanti aku naikan jabatanmu jadi carikku.”Rayu Gusti Bupati agar Laksito mau
memberikan sisik ular itu.
“Mohon
maaf, ini milik hamba karena hamba yang menemukan, Gusti. Amanat ini tak
bisa dinilai dengan harga dan jabatan.Ini amanat dari Tuhan yang harus hamba
jaga.Mohon maaf Gusti,” kata Laksito tetap keukeuh dengan
pendiriannya bahwa amanat adalah harga mati yang harus dijaga dengan baik.
“Buat
apa? Tidak ada gunanya kamu memilikinya!” hardik Gusti Bupati sambil langkahnya
merangsek ke depan menuju meja tempat sisik ular itu tergeletak.
“Mohon
maaf Gusti,.Hamba terpaksa melawan Gusti”, kata Laksito seraya bangun dari
simpuhnya.Serentak mereka kini saling bergelut saling mendorong.Tubuh mereka
beradu beberapa kali. Hampir saja tangan Gusti Bupati menjangkau kulit
itu, namun tenaga dan badan Laksito yang lebih besar tak cukup sebanding dengan
badan ceking Gustinya. Didorongnya Gusti Bupati hingga terjerembab terhempas
beberap senti ambruk ke lantai.Secepat kilat tangan Laksito mengambil sisik
ular yang terseak-seok tertiup angin dan dimasukannya benda itu ke dalam
mulutnya.
Bermaksud hanya untuk menyembunyikanya saja, tetapi malang
tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, tanpa sengaja sisik ular itu
tertelan.
Perlahan-lahan
sedikit demi sedikit tubuh Laksito hilang raib.
“Maafkan
hamba Gusti, maaf beribu maaf karena sudah berani melawan Gusti”, kata Laksito
sebelum tubuhnya benar-benar raib.
Dengan
emosi yang masih bergulung di dadanya, tertahan Gusti Bupati
terbangun.Sambil membenarkan letak ikat kepalanya yang sudah acak-acakan, tak
kuasa menahan rasa amarah, kecewa, dan penyesalan yang kini berkecamuk di dalam
batinnya.
Nafas
Bupati masih terengah-engah.Sementara itu tangis Bi Ojah pecah mengiringi sosok
Laksito yang kini raib di telan bumi musnah menjadi udara.Laksito pemuda yang
sudah dianggap Bi Ojah seperti anaknya sendiri, rasa kehilangan yang
teramat sangat Bi ojah rasakan.
“Toooo…
Laksitoo…. Ini gimana? ” Bi Ojah memanggil-manggil nama Laksito. Air
matanya jatuh di lantai tanah lembab, di dapur.
Sementara
itu Gusti Bupati melangkah gontai perlahan, air matanya terbendung di antara
kelopak matanya, nanar, berkaca-kaca tangan kanannya memagang
pinggangnya sementara tangan kirinya meregang dan menjulur kedepan.
“Tooo…
Bocah bagus, maafkan Gustimu ini yang khilaf, gelap mata.Gelap hati oleh nafsu
dan hasrat.Sisik itu memanglah menjadi hakmu bukan hakku.” Airmatanya kini
menetes, lalu Gusti Bupati pun menyambung kata-katanya lagi. “Menyesal
aku, To…. Menyesal….Coba kalau aku tidak memaksa, pasti tak akan seperti ini
kejadiannya. Kamu masih di sini bersama kami.”
“Hamba
memaafkan Gusti.Mungkin ini sudah menjadi nasib hamba. Tapi izinkanlah hamba
terus mengabdi di sini selamanya Gusti, ” jawab Lakshito suaranya bergetar
berat dan melirih.
“Baiklah,
Laksito wujudmu sekarang sudah tidak ada. Permintaan dan perintahku, jika
kamu ingin mengabdi selamanya di sini, tolonglah jaga rakyatku yaitu rakyat
Brebes dan karena kamu masih perjaka dan menelan sisik ula poleng , maka namamu
aku ganti menjadi Jaka Poleng.”
Begitulah, konon Ula Poleng bermahkota emas itu
salah satu abdi Hyang Anantaboga, dewa dari bangsa ular yang turun ke bumi.
Siapa pun yang sudah terjamas untuk melihat proses pergantian kulitnya akan
mendapatkan berkah dari sisiknya yang bertuah. Konon sisik itu merupakan
jembatan penghubung dua dunia yaitu dunia gaib dan dunia nyata.Jadi siapa pun
pemilik sisik itu secara langsung bisa hidup dalam dua dunia, Salah satu
kelebihan lainnya ialah pemilik sisik tersebut secara langsung memiliki Ajian
Upasanta yaitu lidahnya berbisa. Jadi, makhluk hidup apa pun
yang dijilatnya bisa menemui ajal. Selain itu ia juga akan mampu
berjalan di atas sungai dan samudera.
Sampai saat ini masyarakat Brebes beranggapan Ki Jaka Poleng
masih hidup. Beberapa orang pernah melihat penampakan Ki Jaka Poleng
dalam wujud satria gagah berwajah manusia berbadan ular. Mitos masyarakat di
pesisir Sungai Pemali berkembang bahwa sebelum banjir datang, Ular Jaka Poleng
membendung hulu sungai Pemali kala sore sebelum banjir datang agar sapi yang
digembalakan di hutan dan orang-orang yang bekerja di seberang
Sungaii Pemali bisa pulang dengan selamat.
Inilah legenda dari Brebes.Kisahnya turun temurun
diceritakan dari waktu ke waktu.Meskipun tak ada bukti autentik seperti Batu
Malin Kundang, kisah ini banyak mengandung teladan bahwa amanat itu sangat
berharga dan tak ternilai. Bahwa kekerasan dan pemaksaaan kehendak akan selalu
berakhir dengan keburukan. Kebanyakan orang tua di daerah Brebes akan melarang
anaknya memegang sisik ular karena takut akan bernasib sama seperti kisah
di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar