Timbule
Aksara Jawa
Prabu
Ajisaka iku duwe abdi loro, jenenge Sembada lan Dora. Nuju ing sawijining dina
Prabu Ajisaka lelana didereake Sembada. Dora didhawuhi Prabu Ajisaka nunggu
keris ana ing omah. Prabu Ajisaka tindak iku meling marang Sembada lan Dora,
yen keris kui ora pareng diwenehake marang sapa wae, kajaba aku (Prabu
Ajisaka). Kira-kira ana limang taun anggone lelana, Prabu Ajisaka ngutus marang
Sembada njupuk kerise. Wusanane Dora lan Sembada regejegan, padha suduk sinuduk
siji-sijine nganti mati bareng (dadi bathang). Ing kana Prabu Ajisaka ora sabar
ngenteni, banjur nusul kundur abdine. Banjur Prabu Ajisaka kui kaget banget
barang weruh abdi loro-lorone tumekaning pati. Prabu Ajisaka banjur kelingan
marang dhawuhe, yaiku marang abdi loro-lorone (Sembada lan Dora). Ing kana,
Prabu Ajisaka banjur nyerat, isine serat iku unine:
Ha Na
Ca Ra Ka
Da Ta
Sa Wa La
Pa Dha Ja
Ya Nya
Ma Ga Bha
Tha Nga
1.
Aksara Jawa Nglegéna
Catatan:
Huruf 'ha'
juga dapat dibaca sebagai 'a'.
2.
Aksara Murda
Aksara murda atau aksara gedé digunakan
seperti halnya huruf kapital dalam tulisan latin, kecuali untuk menandakan awal
suatu kalimat. Murda digunakan pada huruf pertama suatu nama, umumnya
nama tempat atau orang yang dihormati. Tidak semua aksara mempunyai bentuk murda,
dan apabila huruf pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, huruf
kedua yang menggunakan murda. Apabila huruf kedua juga tidak memiliki
bentuk murda, maka huruf ketiga yang menggunakan murda, begitu
seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda
apabila memungkinkan. Perlu diperhatikan bahwa huruf ca murda tidak
lazim digunakan. Bentuk pastinya tidak diketahui karena umumnya hanya bentuk pasangannya
yang dipakai. Jumlah huruf murda (yang dianggap huruf murda)
ada delapan (8) buah seperti berikut:
ꦨ꧋ ꦩ꧋ ꦪ꧋ ꦫ꧋ ꦬ꧋ ꦌ꧆꧋ ꦭ꧋
ꦮ
3.
Aksara Swara
Vokal murni umumnya ditulis dengan
huruf ha (yang dapat merepresentasikan konsonan kosong) dengan tanda
baca yang sesuai. Selain cara tersebut, terdapat juga huruf yang
merepresentasikan vokal murni bernama aksara swara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦱ꧀ꦮꦫ) yang digunakan untuk menandakan
sebuah nama, seperti halnya huruf murda. Sebagai contoh, kata sifat
"ayu" ditulis dengan huruf ha. Namun untuk menulis seseorang
yang bernama Ayu, aksara swara digunakan. Swara juga digunakan
untuk mengeja kata bahasa asing. Unsur Argon semisal, ditulis dengan swara. . Jumlah aksara swara
ada lima buah, diantaranya seperti berikut:
4. Aksara
Rekan
Aksara
rekan (bahasa Indonesia: rekaan) jumlahnya lima buah yaitu:
ꦄꧏ꧋ꦅꧏ꧋ꦊꧏ꧋ꦌꧏ꧋ꦐꧏ
Fungsinya untuk menulis kata serapan
yang diperjelas, lebih-lebih kata bahasa Arab. Bila tidak diperjelas ditulis
sesuai dengan aksara Jawa seperti biasanya.
Contoh:
1.
ꦄꧏꦆꦶꦑꦿ bila tidak diperjelas ꦄꦆꦶꦑꦿ
2.
ꦅꧏꦶꦄꦶꦽ bila tidak diperjelas ꦋꦶꦄꦶꦽ
3.
ꦊꧏꦀꦏꦿ bila tidak diperjelas ꦊꦀꦏꦿ
4.
ꦌꧏꦄꦆꦿ bila tidak diperjelas ꦌꦄꦆꦿ
5.
ꦐꧏꦑ꧆ꦑꦿ bila tidak diperjelas ꦐꦑ꧆ꦑꦿ
Bila ditulis bersama-sama sandhangan
pepet, tiga buah cecak berada di dalam pepet; bila ditulis
bersama-sama dengan wulu, layar, atau cecak, tiga buah cecak itu
berada di kiri dan wulu, layar, cecak berada di sebelah kanannya.
Contoh:
1.
ꦊꧏꦶꦆꦾ
2.
ꦊꧏꦽꦉꦸ
3.
ꦅꦜꦶꦊꧏꦼꦸꦇꦶ
4.
ꦊꧏꦶꦽꦏꦁꦿ
(Catatan:
kelemahan program dukunov ini tiga buah cecak masih bertumpuk dengan wulu).
Selain aksara rekan ꦊꧏ
yang wujud pasangannya ꦞꧏ꧋
aksara rekan tidak bisa menjadi pasangan. Bila aksara rekan berada di
belakang konsonan, maka konsonan itu dilakukan dengan jalan diberi pangkon.
Contoh:
1.
ꦇꦏꦞꦸꦁꦞꧏꦀꦏꦿ
2.
ꦇꦈꦷꦐꦿꦅꧏꦶꦄꦶꦽ
3.
ꦌꧏꦄꦆꦞꧏꦶꦆꦾ
4.
ꦇꦸꦏꦷꦊ꧆ꦊꦿꦐꧏꦑ꧆ꦑꦿ
5. Angka
Jawa
Wujud angka Jawa seperti berikut:
1 = ꦐ aksara ꦐ
2 = aksara ꦓ꧋ꦅꦶꦆꦿ
3 = aksara ꦓ꧋ꦅꦶꦺꦊꦼꦄꦉꦿ
4 = ꧕ aksara ꦏ꧋ꦏꦶꦃꦶꦼ
5 = aksara ꦏ꧋ꦄꦸꦃꦸꦼ
6 = ꧖ aksara ꧖ꦄꦃ
7 = ꦉ aksara ꦉ
8 = ꦬ aksara ꦊ꧋ꦊꦉ꧀ (ꦊ꧋ꦏꦸꦽꦅ)
9 = ꦍ aksara ꦍ
0 = ꦅꦇꦿ bundaran ꧔
Karena wujud angka ini juga aksara
Jawa maka agar tidak membingungkan penulisannya dipisahkan oleh tanda pada
pangkat ( ꧐ ).
Contoh:
ꦇꦆꦀꦸꦺꦁꦜꦻꦁꦚꦷꦁꦿ꧐ꦐ꧐ꦈꦸꦉꦁꦿ꧋
ꦇꦈꦸꦉꦁꦣꦷꦁꦶꦄ꧐꧔꧐ꦅꦶꦁꦚꦷꦁꦿ꧋
ꦆꦀꦸꦁꦣꦺꦇꦀꦶꦇꦏꦷꦁꦶꦄ꧐꧔ꦐ꧌
Bila di belakang angka Jawa terdapat
pada lingsa atau pada lungsi, pada pangkat di bagian
belakang tidak perlu dituliskan.
Contoh:
ꦏꦼꦄꦺꦆꦚꦌꦏꦿ꧐ꦉ꧋ꦏꦸꦉꦶꦾꦺꦀꦌꦏꦿ꧐ꦐ꧔꧌
ꦊꦸꦆꦺꦁꦊꦄꦤꦹꦃꦸ꧐꧋ꦈꦍꦾꦺꦀ꧐ꦬ꧌
ꦏꦸꦃꦶꦅꦿSMPꦀꦶꦼꦇꦷꦺꦄꦻꦉꦾꦀꦁꦹ꧐ꦐꦐ꧋ꦈꦺꦅꦻꦺꦁꦕ꧐ ꦐ꧖꧌
6.
Pasangan
Untuk menulis suatu konsonan
murni, tanda baca pangkon digunakan untuk menekan vokal huruf dasar.
Namun pangkon hanya boleh dipakai di akhir kalimat, dan apabila konsonan
terjadi di tengah kalimat, huruf pasangan digunakan. Pasangan
adalah huruf subskrip yang menghilangkan vokal inheren aksara tempat ia
terpasang. Misal, apabila huruf na dipasangkan dengan pasangan da,
maka akan dibaca nda. Pasangan dapat diberi tanda baca, seperti
halnya aksara dasar, dengan beberapa pengecualian pada penempatan. Tanda baca
yang berada di atas dipasang pada aksara, sementara tanda baca yang berada di
bawah dipasang pada pasangan. Tanda baca yang berada sebelum dan sesudah
huruf dipasang segaris dengan aksara. Sebuah aksara hanya boleh dipasang dengan
satu pasangan, dan pasangan dapat dipasang dengan sejumlah tanda
baca. Dalam teks lama, pasangan wa dapat ditempelkan dengan pasangan
lain sebagai pengecualian karena dianggap sebagai tanda baca.
7. Sandhangan
Sandhangan adalah tanda baca (berbeda dengan tanda
baca teks seperti koma atau titik) yang berfungsi untuk mengubah vokal huruf
dasar, layaknya harakat pada abjad Arab. Selain itu, sandhangan juga
memiliki sejumlah fungsi lain.
8.
Tanda
Baca Huruf Jawa (Pada)
Tanda-tanda baca
pada huruf Jawa disebut pada. Namun tanda baca pada huruf Jawa
tidak sama banyaknya dengan tanda baca pada huruf latin. Di dalam huruf Jawa
tidak terdapat tanda hubung (-) mengingat huruf Jawa ditulis tanpa spasi; juga
tidak terdapat tanda tanya (?) dan tanda seru (!). Pada dan
tanda-tanda lain yang dipakai pada penulisan dengan huruf Jawa ada 12
macam seperti berikut.
1.
disebut pada
luhur, bunyinya mangajapa, gunanya untuk pembukaan surat
di depan satatabasa/adangiyah; berasal dari atasan/orang tua
kepada bawahan/anak.
2.
disebut pada madya sebagai pembukaan surat dari
sesama/sederajat. Tanda ini juga digunakan pada karya sastra yang ditulis dalam
bentuk tembang (digunakan pada setiap permulaan bait).
3.
꧙ disebut pada
andhap sebagai pembukaan surat dari bawahan/anak kepada atasan/orang
tua.
4. ꦑꦖ disebut purwa
pada, di tengah tersebut dibacai becik
sebagai pembuka karya sastra berbentuk tembang di depan bait pertama pupuh
pertama.
5. ꦨ꧃ꦙ disebut madya pada,
di tengah-tengah itu dibaca mandrawa artinya jauh, pada ini
ditulis di akhir pupuh bila akan berganti jenis tembang (bersambung pupuh
lain).
6. ꦑ꧉ disebut wasana pada, di
tengah-tengah itu dibaca iti, artinya tamat, pada ini digunakan
pada akhir cerita yang ditulis dalam bentuk tembang.
7. ꧔ disebut
guru atau uger-uger, digunakan untuk: (1) surat, sesudah satatabasa;
(2) permulaan cerita berbentuk prosa.
8.
disebut adeg-adeg atau ada-ada,
dipakai untuk pembukaan kalimat dan paragraf (satu paragraf satu tanda ini).
9. ꧌꧔꧌ disebut pada pancak,
digunakan untuk: (1) penutup cerita berbentuk prosa; (2) penutup sesudah wasanabasa
pada surat.
10. ꧋
disebut pada lingsa, digunakan seperti halnya koma; kalau sudah
ada pangkon (ꦿ)
tak perlu tanda ini. Pada tembang tanda ini digunakan sebagai pemisah
baris (gatra).
11. ꧌
disebut pada lungsi, fungsinya seperti tanda titik, bila yang
diberi tanda ini sesudah suku kata tertutup (dengan pangkon /ꦿ) tinggal menambah pada lingsa
sudah berarti pada lungsi.
12. ꧐
disebut pada pangkat, gunanya untuk (1) mengapit angka huruf Jawa
dan (2) seperti titik dua pada huruf Latin.
Catatan:
Saat ini sudah jarang orang menulis surat
dengan huruf Jawa sehingga pada luhur, pada madya, dan pada andhap
sudah jarang digunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar