Minggu, 12 Januari 2014

aksara jawa



Timbule Aksara Jawa
Prabu Ajisaka iku duwe abdi loro, jenenge Sembada lan Dora. Nuju ing sawijining dina Prabu Ajisaka lelana didereake Sembada. Dora didhawuhi Prabu Ajisaka nunggu keris ana ing omah. Prabu Ajisaka tindak iku meling marang Sembada lan Dora, yen keris kui ora pareng diwenehake marang sapa wae, kajaba aku (Prabu Ajisaka). Kira-kira ana limang taun anggone lelana, Prabu Ajisaka ngutus marang Sembada njupuk kerise. Wusanane Dora lan Sembada regejegan, padha suduk sinuduk siji-sijine nganti mati bareng (dadi bathang). Ing kana Prabu Ajisaka ora sabar ngenteni, banjur nusul kundur abdine. Banjur Prabu Ajisaka kui kaget banget barang weruh abdi loro-lorone tumekaning pati. Prabu Ajisaka banjur kelingan marang dhawuhe, yaiku marang abdi loro-lorone (Sembada lan Dora). Ing kana, Prabu Ajisaka banjur nyerat, isine serat iku unine:
Ha       Na       Ca       Ra       Ka
Da       Ta       Sa       Wa     La
Pa        Dha     Ja         Ya        Nya
Ma       Ga      Bha      Tha      Nga
1.    Aksara  Jawa Nglegéna

Catatan:
Huruf  'ha' juga dapat dibaca sebagai 'a'.

2.    Aksara Murda
            Aksara murda atau aksara gedé digunakan seperti halnya huruf kapital dalam tulisan latin, kecuali untuk menandakan awal suatu kalimat. Murda digunakan pada huruf pertama suatu nama, umumnya nama tempat atau orang yang dihormati. Tidak semua aksara mempunyai bentuk murda, dan apabila huruf pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, huruf kedua yang menggunakan murda. Apabila huruf kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka huruf ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Perlu diperhatikan bahwa huruf ca murda tidak lazim digunakan. Bentuk pastinya tidak diketahui karena umumnya hanya bentuk pasangannya yang dipakai. Jumlah huruf murda (yang dianggap huruf murda) ada delapan (8) buah seperti berikut:
                         ꦨ꧋ ꦩ꧋ ꦪ꧋ ꦫ꧋ ꦬ꧋ ꦌ꧆꧋  ꦭ꧋  

3.    Aksara Swara
            Vokal murni umumnya ditulis dengan huruf ha (yang dapat merepresentasikan konsonan kosong) dengan tanda baca yang sesuai. Selain cara tersebut, terdapat juga huruf yang merepresentasikan vokal murni bernama aksara swara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦱ꧀ꦮꦫ) yang digunakan untuk menandakan sebuah nama, seperti halnya huruf murda. Sebagai contoh, kata sifat "ayu" ditulis dengan huruf ha. Namun untuk menulis seseorang yang bernama Ayu, aksara swara digunakan. Swara juga digunakan untuk mengeja kata bahasa asing. Unsur Argon semisal, ditulis dengan swara. . Jumlah aksara swara ada lima buah, diantaranya seperti berikut:


4.    Aksara Rekan
Aksara rekan (bahasa Indonesia: rekaan) jumlahnya lima buah yaitu:
ꦄꧏ꧋ꦅꧏ꧋ꦊꧏ꧋ꦌꧏ꧋ꦐꧏ
Fungsinya untuk menulis kata serapan yang diperjelas, lebih-lebih kata bahasa Arab. Bila tidak diperjelas ditulis sesuai dengan aksara Jawa seperti biasanya.
Contoh:
1. ꦄꧏꦆꦶꦑꦿ bila tidak diperjelas ꦄꦆꦶꦑꦿ
2. ꦅꧏꦶꦄꦶꦽ bila tidak diperjelas ꦋꦶꦄꦶꦽ
3. ꦊꧏꦀꦏꦿ bila tidak diperjelas ꦊꦀꦏꦿ
4. ꦌꧏꦄꦆꦿ bila tidak diperjelas ꦌꦄꦆꦿ
5. ꦐꧏꦑ꧆ꦑꦿ bila tidak diperjelas ꦐꦑ꧆ꦑꦿ
Bila ditulis bersama-sama sandhangan pepet, tiga buah cecak berada di dalam pepet; bila ditulis bersama-sama dengan wulu, layar, atau cecak, tiga buah cecak itu berada di kiri dan wulu, layar, cecak berada di sebelah kanannya.
Contoh:
1. ꦊꧏꦶ᯻ꦆꦾ
2. ꦊꧏꦽꦉꦸ
3. ꦅꦜꦶꦊꧏꦼꦸꦇꦶ
4. ꦊꧏꦶꦽꦏꦁꦿ
(Catatan: kelemahan program dukunov ini tiga buah cecak masih bertumpuk dengan wulu). Selain aksara rekan ꦊꧏ yang wujud pasangannya ꦞꧏ꧋ aksara rekan tidak bisa menjadi pasangan. Bila aksara rekan berada di belakang konsonan, maka konsonan itu dilakukan dengan jalan diberi pangkon.
Contoh:
1. ꦇꦏꦞꦸꦁꦞꧏꦀꦏꦿ
2. ꦇꦈꦷꦐꦿꦅꧏꦶꦄꦶꦽ
3. ꦌꧏꦄꦆꦞꧏꦶ᯻ꦆꦾ
4. ꦇꦸꦏꦷꦊ꧆ꦊꦿꦐꧏꦑ꧆ꦑꦿ

5.    Angka Jawa
Wujud angka Jawa seperti berikut:
1 =           aksara
2 =            aksara ꦓ꧋ꦅꦶ꥙꥙ꦆꦿ
3 =           aksara ꦓ꧋ꦅꦶꦺꦊꦼꦄꦉꦿ
4 =              aksara ꦏ꧋ꦏꦶꦃꦶꦼ
5 =             aksara ꦏ꧋ꦄꦸꦃꦸꦼ
6 =              aksara ꧖ꦄꦃ
7 =           aksara
8 =            aksara ꦊ꧋ꦊꦉ꧀ (ꦊ꧋ꦏꦸꦽꦅ)
9 =           aksara
0 = ꦅꦇꦿ     bundaran
            Karena wujud angka ini juga aksara Jawa maka agar tidak membingungkan penulisannya dipisahkan oleh tanda pada pangkat ( ).
Contoh:
꧎ꦇꦆꦀꦸꦺꦁꦜꦻꦁꦚꦷꦁꦿ꧐ꦐ꥙꧐ꦈꦸꦉꦁꦿ꧋
꧎ꦇꦈꦸꦉꦁꦣꦷꦁꦶꦄ꧐꥘꧔꧐ꦅꦶꦁꦚꦷꦁꦿ꧋
꧎ꦆꦀꦸꦁꦣꦺꦇꦀꦶꦇꦏꦷꦁꦶꦄ꧐꥙꧔ꦐ꥙꧌

            Bila di belakang angka Jawa terdapat pada lingsa atau pada lungsi, pada pangkat di bagian belakang tidak perlu dituliskan.
Contoh:
꧎ꦏꦼꦄꦺꦆꦚꦌꦏꦿ꧐ꦉ꧋ꦏꦸꦉꦶꦾꦺꦀꦌꦏꦿ꧐ꦐ꧔꧌
꧎ꦊꦸ᯻ꦆꦺꦁꦊꦄꦤꦹꦃꦸ꧐꥘꧋ꦈꦍꦾꦺꦀ꧐ꦬ꧌
꧎ꦏꦸꦃꦶꦅꦿSMPꦀꦶꦼꦇꦷꦺꦄꦻꦉꦾꦀꦁ꥜ꦹ꧐꥙ꦐꦐ꧋ꦈꦺꦅꦻꦺꦁꦕ꧐ ꦐ꥙꧖꧌

6.    Pasangan

Untuk menulis suatu konsonan murni, tanda baca pangkon digunakan untuk menekan vokal huruf dasar. Namun pangkon hanya boleh dipakai di akhir kalimat, dan apabila konsonan terjadi di tengah kalimat, huruf pasangan digunakan. Pasangan adalah huruf subskrip yang menghilangkan vokal inheren aksara tempat ia terpasang. Misal, apabila huruf na dipasangkan dengan pasangan da, maka akan dibaca nda. Pasangan dapat diberi tanda baca, seperti halnya aksara dasar, dengan beberapa pengecualian pada penempatan. Tanda baca yang berada di atas dipasang pada aksara, sementara tanda baca yang berada di bawah dipasang pada pasangan. Tanda baca yang berada sebelum dan sesudah huruf dipasang segaris dengan aksara. Sebuah aksara hanya boleh dipasang dengan satu pasangan, dan pasangan dapat dipasang dengan sejumlah tanda baca. Dalam teks lama, pasangan wa dapat ditempelkan dengan pasangan lain sebagai pengecualian karena dianggap sebagai tanda baca.

 
7.    Sandhangan
Sandhangan adalah tanda baca (berbeda dengan tanda baca teks seperti koma atau titik) yang berfungsi untuk mengubah vokal huruf dasar, layaknya harakat pada abjad Arab. Selain itu, sandhangan juga memiliki sejumlah fungsi lain.

8.    Tanda Baca Huruf Jawa (Pada)
Tanda-tanda baca pada huruf Jawa disebut pada. Namun tanda baca pada huruf Jawa tidak sama banyaknya dengan tanda baca pada huruf latin. Di dalam huruf Jawa tidak terdapat tanda hubung (-) mengingat huruf Jawa ditulis tanpa spasi; juga tidak terdapat tanda tanya (?) dan tanda seru (!). Pada dan tanda-tanda lain yang dipakai pada penulisan  dengan huruf Jawa ada 12 macam seperti berikut.

1.          disebut pada luhur, bunyinya mangajapa, gunanya untuk pembukaan surat di depan satatabasa/adangiyah; berasal dari atasan/orang tua kepada bawahan/anak.

2.         disebut pada madya sebagai pembukaan surat  dari sesama/sederajat. Tanda ini juga digunakan pada karya sastra yang ditulis dalam bentuk tembang (digunakan pada setiap permulaan bait).


3.        disebut pada andhap sebagai pembukaan surat dari bawahan/anak kepada atasan/orang tua.

4.  ꧚ꦑꦖ꧚   disebut purwa pada, di tengah tersebut dibacai becik sebagai pembuka karya sastra berbentuk tembang di depan bait pertama pupuh pertama.

5.  ꦨ꧃ꦙ꧚  disebut madya pada, di tengah-tengah itu dibaca mandrawa artinya jauh, pada ini ditulis di akhir pupuh bila akan berganti jenis tembang (bersambung pupuh lain).

6.  ꦑ꧉꧚  disebut wasana pada, di tengah-tengah itu dibaca iti, artinya tamat, pada ini digunakan pada akhir cerita yang ditulis dalam bentuk tembang.

7.  ꧎꧔꧎     disebut guru atau uger-uger,  digunakan untuk: (1) surat, sesudah satatabasa;  (2) permulaan cerita berbentuk prosa.
8.            disebut adeg-adeg atau ada-ada, dipakai untuk pembukaan kalimat dan paragraf (satu paragraf satu tanda ini).
9.  ꧌꧔꧌  disebut pada pancak, digunakan untuk: (1) pe­nutup cerita berbentuk prosa; (2) penutup sesudah wasa­nabasa pada surat.
10.          disebut pada lingsa, digunakan seperti halnya koma; kalau sudah ada pangkon (ꦿ) tak perlu tanda ini. Pada tembang tanda ini digunakan sebagai pemisah baris (gatra).
11.        disebut pada lungsi, fungsinya seperti tanda titik, bila yang diberi tanda ini sesudah suku kata tertutup (dengan pangkon /ꦿ) tinggal menambah pada lingsa sudah berarti pada lungsi.
12.         disebut pada pangkat, gunanya untuk (1) mengapit angka huruf Jawa dan (2) seperti titik dua  pada huruf Latin.
Catatan:
Saat ini sudah jarang orang menulis surat dengan huruf Jawa sehingga pada luhur, pada madya, dan pada andhap sudah jarang digunakan.


           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar