Senin, 30 Desember 2013

siklus hidup masyarakat jawa pada upacara kehamilan



SIKLUS HIDUP MASYARAKAT JAWA
Pada bagian terdahulu telah dikemukakan mengenai siklus hidup masyarakat Jawa pada upacara-upacara kehamilan, yaitu upacara mitoni. Berikut ini akan diulas lagi tentang upacara-upacara yang diselenggarakan pada masa kelahiran anak. Upacara yang diselenggarakan dalam masa kelahiran anak yaitu upacara mendhem ari-ari, upacara brokohan, upacara puputan atau dhautan, upacara sepasaran, dan upacara selapanan.
Ø  Upacara Mendhem Ari-ari
Ari-ari atau plasenta disebut juga dengan aruman atau embing-embing atau mbingmbing. Bagi orang Jawa, ada kepercayaan bahwa ari-ari merupakan saudara bayi tersebut oleh karena itu ari-ari dirawat dan dijaga sebaik mungkin, misalnya di tempat penanaman ari-ari tersebut diletakkan lampu sebagai penerangan. Artinya, lampu tersebut merupakan simbol pepadhang bagi bayi. Pemagaran di sekitar tempat penanaman ari-ari dan menutup bagian atas pagar juga dilakukan agar tidak kehujanan dan binatang (seperti katak) tidak masuk ke tempat itu.
Tata Cara/Adat
Ari-ari setelah dicuci bersih dimasukkan ke dalam kwali yang terbuat dari tanah (kendhi). Sebelumnya kendhi diberi alas daun yang di atasnya diletakkan beberapa barang yang merupakan syarat. Syarat yang dimaksud di beberapa daerah berlainan jenisnya, yaitu:
  1. kembang boreh, lenga wangi, kunir bekas alas untuk memotong usus, welat (pisau yang terbuat dari potongan bambu tipis) yang dipakai untuk memotong usus, garam, jarum, benang, kemiri, tulisan huruf Arab, bulu mata si ibu jabang bayi.
  2. biji kemiri gepak jendhul, jarum, gereh, beras merah, kunyit, garam, dan kertas tulisan Arab;
  3. pensil, buku, kertas tulisan Arab, tulisan Jawa, dan tulisan latin. Selain itu, bagi bayi perempuan ke dalam kendhi dimasukkan juga empon-empon seperti temu ireng, kunir, dlingo bengle, bawang merah, bawang putih, benang, dan jarum. Bagi bayi laki-laki, dimasukkan juga uang logam Rp 100,00.
Setelah beberapa syarat itu dimasukkan disusul kemudian dengan ari-ari, kendhi ditutup dengan penutup kwali yang masih baru lalu dibungkus dengan kain mori yang juga masih baru. Pelaku atau orang yang menanam ari-ari adalah dukun bayi. Kendhi berisi ari-ari digendhong dan dibawanya ke tempat penguburan dengan dipayungi. Timbunan tanah untuk mengubur ari-ari dipagari dan di atasnya ditaburi kembang setaman (bunga mawar, melati, dan kenanga). Di atasnya dipasang lampu yang dinyalakan setiap malam selama selapan (35 hari). Tempat penguburan ari-ari ini biasanya terletak di samping kanan pintu masuk. Setelah ari-ari dipendhem dukun bayi menebar uang koin yang dicampur dengan beras yang berwarna kuning dan anak-anak atau tetangga sekitar berebut uang yang disebar oleh dukun bayi tersebut.
Terdapat beberapa variasi cara merawat ari-ari. Meskipun berbeda cara, variasi-variasi tersebut pada dasarnya mempunyai esensi yang sama, yaitu merawat ari-ari yang dipercaya sebagai saudara kembar si bayi. Selain yang telah tersebut di atas, yaitu dikubur, ari-ari dirawat dengan langsung dilabuh di sungai. Variasi yang lain adalah ari-ari digantung di luar rumah. Bila anak sudah besar, ari-ari itu dilabuh sendiri oleh anak tersebut.
Ø  Upacara Brokohan
Upacara brokohan merupakan upacara yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa untuk menyambut hadirnya warga baru dalam keluarga, yaitu si bayi sebagai ungkapan rasa syukur. Seluruh upacara kelahiran ini bertujuan agar sejak saat kelahiran sampai pertumbuhan masa bayi selalu mendapat karunia keselamatan dan perlindungan dari Tuhan. Unsur kata brokohan berasal dari kata bahasa Arab barokah yang mengandung makna: mengharapkan berkah. Upacara brokohan diselenggarakan pada sore hari setelah kelahiran anak dengan mengadakan selamatan atau kenduri yang dihadiri oleh dukun perempuan (dukun beranak), para kerabat, dan ibu-ibu tetangga terdekat. Setelah kenduri selesai, para hadirin segera membawa pulang sesajian yang telah didoakan. Biasanya sesajian sudah dikemas dalam besek, yaitu suatu wadah yang terbuat dari sayatan bambu.
Sesajian yang dipersiapkan pada upacara brokohan, antara lain: minuman dhawet, jangan menirsekul ambeng: nasi dicampur lauk pauk jeroan, pecel dicampur lauk ayam matang, telur mentah, kembang setaman, kelapa, dan beras. Makanan yang telah matang tersebut dapat juga diganti dengan bahan makan yang belum diolah, misalnya bawang merah, bawang putih, lombok merah, lombok hijau, lombok rawit, gula jawa, sebungkusteh, sebungkus gula pasir, tempe mentah, garam, beras, minyak goreng, telur mentah, sepotong kelapa, dan penyedap rasa atau sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Ø  Upacara Puputan atau Dhautan
Dhautan atau puputan berasal dari kata dhaut atau puput yang berarti lepas. Upacara puputan atau sering disebut juga dengan dhautan diselenggarakan pada sore hari untuk menandai putusnya tali pusar bayi dengan mengadakan kenduri selamatan. Kenduri selamatan sebagai ungkapan rasa syukur dipimpin oleh kaum dengan dihadiri oleh para kerabat dan bapak-bapak tetangga terdekat. Sesajian yang perlu dipersiapkan pada upacara puputan ialah sega gudangan: nasi dengan lauk pauk sayur mayur dan parutan kelapa, jenang abang, jenang putih, dan jajan pasar. Waktu penyelenggaraan upacara puputan tidak dapat ditentukan secara pasti karena putusnya tali pusar masing-masing bayi tidak sama. Adakalanya tali pusar lepas setelah bayi berumur satu minggu, adakalanya kurang dari satu minggu.
Upacara puputan ini ditandai antara lain dengan dipasangnya sawuran, yaitu bawang merah, dlingo, bengle yang dimasukkan ke dalam ketupat, dan aneka macam duri kemarung di sudut-sudut kamar bayi. Selain itu dipasang juga daun nanas dipoles warna hitam putih, dedaunan apa-apa, awar-awar, dan girang, dan duri kemarung. Di halaman rumah ditegakkan tumbak sewu. Di tempat tidur bayi diletakkan benda-benda tajam seperti pisau, gunting. Bayi perempuan setelah tali pusarnya lepas, pusarnya ditutupi dengan biji ketumbar sedangkan laki-laki ditutupi dengan biji merica dengan dilekati obat tradisional Jawa berupa ramuan benangsari bunga nagasari, dan lain-lain yang ditumbuk sampai halus. Tali pusar yang barusaja putus dibungkus dengan kain banguntulak untul bantal si bayi sampai bayi berumur selapan.

Ø  Upacara Sepasaran
.Upacara sepasaran merupakan suatu upacara yang menandai bahwa bayi telah berumur sepasar (lima hari). Sepasar merupakan satu rangkaian hari Jawa, yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, Paing. Upacara sepasaran biasanya diselenggarakan secara sederhana. Upacara sepasaran dilakukan pada sore hari dengan melakukan kenduri yang disaksikan oleh keluarga dan tetangga terdekat. Kenduri atau sesajian selamatan kemudian dibawa pulang oleh yang menyaksikannya. Namun bagi golongan masyarakat tertentu, sepasaran justru merupakan upacara paling meriah yang diselenggarakan oleh keluarga untuk menyambut hadirnya bayi di tengah keluarganya seklaigus pemberian nama bagi si bayi. Kemeriahan ini tergantung pada kemampuan masing-masing keluarga untuk menyelenggarakan pesta.
Ø  Upacara Selapanan
Upacara sepasaran merupakan suatu upacara yang menandai bahwa bayi telah berumur selapan (tiga puluh lima hari). Hitungan selapan itulah yang menandai bahwa hari itulah hari weton si bayi. Upacara selapanan pada kalangan masyarakat tertentu bersamaan dengan pemberian nama bagi si bayi. Tempat penyelenggaraan upacara selapanan biasanya di pendapa atau di ruang samping rumah atau di suatu ruang yang cukup luas untuk menyelenggarakan upacara.
Upacara selapanan didahului dengan upacara parasanParasan berasal dari kata paras yang berarti cukur. Parasan dilakukan pertama kali oleh ayah si bayi kemudian para sesepuh. Setelah rambut tercukur bersih, dilakukan pengguntingan kuku. Selama pencukuran rambut dan pemotongan kuku, dhukun mengucapkan mantra-mantra penolak bala dan membakar kemenyan. Cukuran rambut dan guntingan kuku dimasukkan ke dalam kendhil baru kemudian dibungkus dengan kain putih (mori), lalu dikubur di tempat penguburan ari-ari. Upacara mencukur rambut dan menggunting kuku si bayi pada hakekatnya adalah perbuatan ritual yaitu semacam kurban menurut konsepsi kepercayaan lama dalam bentuk mutilasi tubuh. Setelah pencukuran rambut dan pemotongan kuku selesai, diucapkanlah ujub disusul dengan doa keselamatan bagi si bayi dan keluarga. Sebagian sesajian selamatan dibawa pulang oleh kerabat dan tetangga yang hadir. Dengan demikian, selesailah sudah upacara selapanan.
Dalam melaksanakan upacara kelahiran, masyarakat Jawa percaya bahwa keseluruhan unsur dalam upacara tersebut mempunyai makna atau lambang tersirat. Makna atau lambang yang tersirat dalam upacara-upacara masa kelahiran dalam masyarakat Jawa, ialah:
  • Duri dan daun-daunan berduri dipasang di penjuru rumah, maknanya ialah menolak gangguan bencana gaib.
  • Tumbak sewu, yaitu sapu lidi yang diberi bawang dan cabe, diletakkan di dekat tempat tidur bayi. Tumbak sewu ini bermakna untuk menolak makhluk gaib yang datang, yang mungkin akan mengganggu keselamatan si bayi. Dengan adanya tumbak sewu ini makhluk gaib tidak akan berani mendekati si bayi.
  • Coreng-coreng hitam putih pada ambang pintu untuk menolak pengaruh jahat yang akan masuk melalui pintu.
  • Kertas bertuliskan huruf Arab, latin, dan Jawa mengandung makna agar bayi kelak mahir membaca ayat suci, memilki kepribadian Jawa, menguasai berbagai pengetahuan. Syarat yang berupa benang dan jarum bagi bayi perempuan, diharapkan agar si bayi tumbuh menjadi perempuan yang tahu tanggungjawabnya kelak sebagai ibu/istri. Syarat yang berupa uang bagi bayi laki-laki, diharapkan agar si bayi kelak dapat mencari nafkah bagi keluarganya.
  • Payung mengandung makna agar si bayi kelak menjadi orang luhur. Kain mori putih agar si bayi kelak berhati jujur. Kuali yang dipasang terbalik (kuali bolong) melambangkan dunia. Pelita melambangkan sinar yang menerangi kegelapan.
  • Air dan kembang setaman mengandung makna kesucian.
  • Kaca/cermin (pangilon) mengandung makna magis yang mampu mengusir kedatangan makhluk halus jahat.
  • Dedaunan apa-apaawar-awar, dan girang maknanya mengandung harapan agar kelahiran tidak mengalami sesuatu gangguan (apa-apa), semua kekuatan jahat menjadi tawar (awar-awar), dan seluruh keluarga bergembira (girang). Duri (ri) kemarung dianggap memiliki kekuatan magi alam yang mampu mencelakakan setiap makhluk halus yang mencoba datang untuk maksud jahat.
  • Daun nanas yang diolesi hitam putih menyerupai ular welang mengandung makna magis yang mampu menakut-nakuti makhluk halus jahat yang hendak memasuki kamar bayi.
  • Telur mentah melambangkan kekuatan.
  • Kelapa melambangkan ketahanan fisik.
  • Ingkung melambangkan embrio.
  • Jajan pasar melambangkan kekayaan.
  • Pisang raja melambangkan budi luhur atau derajat mulia.
  • Gula jawa melambangkan kemanisan hidup.
  • Sega gudangan melambangkan kesegaran jasmani rohani.
  • Dawet melambangkan kelancaran usaha hidup

lahirnya gathutkaca, pandawa&kurawa



Lahirnya Gathutkaca
.
Bermula dari kegalauan hati Sang Prabu Nagapercona mengenai pendamping hidupnya. Sang Prabu cemburu dengan rakyatnya yang bersenda gurau dengan istri-istri mereka. Dipanggilah Patih Sekipu dan Sang Prabu Nagapercona membabarkan isi hatinya dan mengatakan bahwa ia ingin meminang Dewi Supraba. Patih Sekipu menyarankan untuk meminta bantuan dari Emban Sekarlaras karena dikenal banyak akalnya. Setelah menerima perintah, berangkatlah Emban Serlaras ke Jonggringsalaka untuk menyampaikan lamaran Sang Prabu kepada Dewi Supraba. Batara Guru penguasa Jonggringsalaka merasa alamat buruk dan mengundang para Dewa untuk rapat. Dan meminta penjagaan diperketat.
Emban Sekarlaras pun tiba di Suralaya dan dihadang oleh para dewa. Walaupun Emban Sekarlaras telah menerangkan siapa dirinya dan meminta dipertemukan dengan Batara Guru namun para dewa penjaga tidak mengindahkan dan mengusir Emban Sekarlaras. Pertarungan pun tak dapat dihindari. Dengan kesaktian yang dimiliki Emban Sekarlaras, para dewa pun tidak berkutik melawannya. Akhirnya Batara Bayu turun tangan dan mengerahkan angin topan yang menerbangkan tubuh Emban Sekarlaras hingga jatuh ke bumi.
Di Gilingwesi, Prabu Nagapercona dan Patihnya membahas kemungkinan yang mungkin terjadi. Tiba-tiba seorang hulubalang melaporkan bahwa Emban Sekarlaras jatuh dari langit. Raja Gilingwesi dan Patih Sekipu segera mencarinya dan ternyata Sekarlaras hanya pingsan. Tidak lama kemudian Sekarlaras siuman dan menceritakan peristiwa yang dialami dan dari muka Prabu tampak api murka karena penghinaan para dewa. Segera Sang Patih disuruh menyiapkan tentara raksasa pilihan dan berangkatlah mereka ke Jonggringsalaka. Setiba di Repat Kepanasan, pasukana raksasa dari Gilingwesi dihentikan oleh para dewa.
Patih Sekipu meminta dipertemukan dengan Batara Guru, namun Batara Bayu menolak dan panas hatilah Patih Sekipu dan diseranglah para dewa yang sedang menjaga Repat Kepanasan. Korban di kedua belah pihak tidak bisa dihindari, lama kelamaan pasukan para dewa semakin lemah dan tidak kuat membendung kekuatan raksasa Gilingwesi. Dan mundurlah pasukan dewa pimpinan Dewa Bayu menuju Selamanangkep. Dan bersembunyi di dalam benteng kokoh. Mundurnya pasukan Batara Bayu dilaporkan ke Batara Guru oleh Batara Narada. Batara Guru memerintahkan supaya Batara Narada turun ke mayapada untuk memberikan sejata Konta kepada Arjuna yang ditugaskan oleh Raden Bratasena untuk mencari senjata yang dapat memotong tali pusar Jabang Tutuka.
Diceritakan bahwa Jabang Tutuka telah berumur tiga tahun. Tapi belum ada senjata yang dapat memotong tali pusarnya. Dan dikatakan juga hanya dengan senjata Konta saja yang bisa memotong tali pusar Jabang Tutuka. Batara Guru percaya hanya Jabang Tutuka seorang yang dapat menyingkirkan Prabu Nagapercona dan menyelamatkan Suralaya. Tesebutlah sebuah negara Tablakancana (Petapralaya) yang dikuasai oleh Prabu Begawan Redaya. Ia mempunyai seorang anak bernama Bambang Aradea. Pada suatu hari Prabu Begawan Redaya ribut dengan Bambang Aradea karena perilaku Raden Aradea yang selalu mencari masalah. Setelah ribut-ribut itu Raden Aradea mengambil keputusan untuk berpetualang.
Kebetulan pada waktu itu, Batara Narada lagi melintas di atas hutan tempat Raden Aradea sedang beristirahat. Batara Narada yang sedang mencari Arjuna melihat Raden Aradea yang sangat mirip dengan Arjuna dan dihampirilah Raden Aradea. Dan berceritalah Batara Narada mengenai tugas yang diembannya. Raden Aradea tahu kalau Batara Narada salah orang dan Raden Aradea berpura-pura menjadi Arjuna. Dan diserahkanlah pusaka Konta kepadanya. Kebetulan Raden Arjuna juga lagi di hutan yang sama.
 Di perjalanan pulang ke Suralaya, Batara Narada bersua dengan rombongan Raden Arjuna. Terkejutlah Batara Narada. Ternyata dia telah salah orang. Dan diceritakanlah apa yang telah terjadi kepada Raden Arjuna. Semar segera mengetahui bahwa orang yang mirip dengan Raden Arjuna adalah Raden Aradea. Setelah menceritakan semuanya, Batara Narada langsung pulang ke Suralaya. Bergegaslah Raden Arjuna mencari Raden Aradea. Setelah ketemu, Raden Aradea tidak mau mengakui bahwa ia telah menerima Kunta dari Batara Narada. Kemudian terjadilah perang mulut. Karena tak mau menyerahkan senjata Konta dan takut kesalahannya terbongkar, Raden Aradea menghunuskan Keris Bantalpipi dan menyerang Raden Arjuna, namun Raden Arjuna dapat menghindar. Walaupun Keris Bantalpipi Raden Aradea bisa dipukul jatuh oleh Raden Arjuna. Kesaktian Raden Arjuna masih dibawah Raden Aradea. Pada satu kesempatan Raden Aradea menyarangkan pukulan dan membuat Raden Arjuna pingsan.
Setelah mengambil kembali Keris Bantalpipi yang sempat terjatuh, Raden Aradea pun memutuskan untuk minggat. Di saat itulah Raden Aradea hendak melarikan diri, namun ketika ia mau melompat pergi, kakinya dipegang oleh Raden Arjuna. Ia terjatuh dan terjadilah pergumulan. Keduanya sama kuat dan dikisahkan pada saat pergumulan, Raden Arjuna sempat merebut sarung senjata Kunta dari Raden Aradea sebelum Raden Aradea kabur ke dalam kegelapan malam. Dengan kecewa Raden Arjuna pulang ke Amarta.
Di pagi hari menuju Amarta, rombongan Raden Arjuna dikejutkan dengan munculnya Batara Narada. Batara Narada meminta maaf atas kekeliruannya dan menjelaskan bahwa sarung Konta tetap berguna dan dapat digunakan untuk memotong tali pusar Jabang Tutuka. Mendapat penjelasan dari Batara Narada, Raden Arjuna memutuskan untuk berangkat ke Pringgandani. Di Pringgandani, Raden Bratasena sedang pusing tujuh keliling memikirkan nasib anakanya Jabang Tutuka yang sampai sekarang tali pusarnya belum terpotong. Raden Bratasena akhirnya memutuskan pergi ke Amarta untuk menemui adiknya Raden Arjuna. Waktu hendak berangkat, Batara Kresna mengunjungi Pringgandani. Dan Raden Bratasena meminta saran karena pikirannya sedang kacau. Batara Kresna meminta Raden Bratasena supaya sabar dan ikhlas menerima semua itu karena semua itu sudah rencana yang maha kuasa. Dan menghibur bahwa nantinya Jabang Tutuka akan menjadi anak yang sakti mandraguna.
Karena gelisah akan nasib Jabang Tutuka dan Raden Arjuna yang belum ada kabar beritanya, Prabu Darmakusuma, Raden Nakula, dan Raden Sadewa berangkat ke Pringgandani untuk memberikan pertolongan untuk mencari Raden Arjuna. Tetapi dilarang oleh Batara Kresna dan meminta semua untuk menunggu Raden Arjuna. Tak lama kemudian, Raden Arjuna tiba di Pringgandani. Setelah sembah sujud kepada Prabu Darmakusuma, Raden Bratasena, dan Batara Kresna dan salam kepada Raden Sadewa dan Raden Nakula. Raden Bratasena berteriak meminta Raden Arjuna menyerahkan senjata yang dapat memotong tali pusar Jabang Tutuka.
Raden Arjuna dengan gugup menjelaskan bahwa yang didapatnya bukan senjata tetapi hanya sarungnya. Meledaklah marah Raden Bratasena, hampir-hampir Raden Arjuna kena hajar. Untung ada Batara Kresna yang mencegah dan meminta Raden Bratasena mendengar penjelasan Raden Arjuna. Sambil memperlihatkan kuku Pancanaka-nya, Bratasena berjalan modar-mandir menanti penjelasan dari Raden Arjuna. Arjuna pun menjelaskan dari awal sampai akhir peristiwa yang dialaminya. Semua orang terkagum-kagum dengan sarung senjata Konta, hanya Bratasena yang tidak percaya dengan keampuhannya. Tapi dengan telaten Batara Kresna memberi nasihat supaya tali pusar Jabang Tutuka dicoba potong dengan sarung Konta.
Akhirnya Raden Bratasena setuju dan semua yang diperlukan disiapkan. Sedangkan yang lainnya berdoa. Batara Kresna yang ditugaskan untuk memotong tali pusar anaknya. Tali pusar berhasil dipotong tapi kemudian hal yang ajaib terjadi. Sarung Konta tertelan oleh tali pusar Jabang Tutuka. Hal ini membuat histeris semua orang. Raden Bratasena bergegas menarik keluar sarung itu tapi semakin ditarik semakin masuk ke dalam perut sang bayi. Akhirnya sarung itu masuk sepenuhnya ke dalam perut Jabang Tutuka. Tak terbayangkan tentang kesedihan Dewi Arimbi. Mereka yang menyaksikan peristiwa tersebut tak dapat berbuat apa-apa, selain memanjatkan doa dihatinya masing-masing. Yang teredengar hanyalah tangisan Jabang Tutuka dan isak Dewi Arimbi yang menyayat hati Bratasena. Tiba-tiba lagi muncullah Batara Narada yang datang melihat Jabang Tutuka. Dikatakan pada Raden Bratasena kalau di masa yang akan datang, Jabang Tutuka akan menjadi sosok pahlawan yang disengani oleh kawan mau pun lawan. Dan diperingati pula supaya hati-hati kalau perang tanding dengan Karna karena hanya senjata Konta milik Karna yang dapat membinasakan Jabang Tutuka.
Waktu berjalan dari hari ber ganti hari, bulan berganti bulan. Jabang Tutuka sekarang telah dapat berjalan dan sangat lincah. Semua orang sangat senang dengan kelucuan Jabang Tutuka. Memang sudah kebiasaan Batara Narada untuk datang dan pergi secara mendadak. Batara Narada muncul dihadapan Jabang Tutuka yang lagi bermain dengan ayahnya. Dan Batara Narada mengatakan bahwa sudah waktunya untuj Jabang Tutuka. Kata-kata itu membuat Bratasena heran dan bertanya apa maksudnya. Dijelaskanlah oleh Batara Narada kalau dirinya membawa tugas untuk meminjam Jabang Tutuka untuk membantu para dewa membasmi keangkaramurkaan Prabu Nagapercona, karena dipercaya raja-raja bahkan dewa-dewa tidak ada yang mampu menaklukkan Raden Nagapercona dan hanya Jabang Tutuka seorang yang dapat menaklukkan Prabu Nagapercona.
Maka minta izinlah Batara Narada untuk meminjam Jabang Tutuka untuk menghadapi Prabu Nagapercona. Logika saja mana mungkin seorang anak kecil menghadapi musuh yang bahkan para dewa pun tidak sanggup melawan. Bratasena marah kepada kehendak dewa dan mengatakan bahwa anaknya hanya akan digunakan sebagai tumbal. Kebetulan tibalah Batara Kresna yang datang berkunjung untuk menengok Jabang Tutuka. Dan Batara Kresna pun ditempatkan sebagai penengah masalah yang rumit ini.
Batara Kresna berkata bahwa semua di dunia ini telah diatur oleh Yang Esa. Kebetulan mereka semua medapatkan titipan untuk membina dan menjaga Jabang Tutuka. Dan sekarang para dewata ingin meminjam Jabang Tutuka untuk membasmi keangkaramurkaan. Tiba-tiba saja Jabang Tutuka berkata bahwa dia ingin menjadi pahlawan. Akhirnya direlakanlah anaknya untuk membantu para dewata demi kebaikan umat manusia. Bratasena melepaskan Jabang Tutuka dengan ancaman kalau anaknya terluka, dia akan menyerang Suralaya. Sementara pasukan Prabu Nagapercona dan pasukannya telah mengepung rapat Selamanangkep dan berusaha mendobrak pintu benteng. Tetapi pintu benteng terlalu kokoh dan akhirnya Prabu Nagapercona hanya bisa menunggu para dewa untuk keluar menghadapinya.
Sifat Prabu Nagapercona tidak sabaran, sambil menunggu dia mencaci maki para dewa. Tiba-tida dari belakang batu gunung terdengan suara tantangan yang ditujukan kepada Prabu Nagapercona. Prabu Nagapercona heran siapa yang berani menghina dia. Dewa saja tidak berani. Di dekatilah tempat asal suara tapi dia tidak ketemu dengan siapa-siapa. Lalu suara hinaan muncul lagi balik batu gunung yang lain. Prabu Nagapercona mengejar ke situ dan tetap tidak memenumkan siapa-siapa. Hal ini berulang berkali-kalai sehingga Prabu Nagapercona keletihan mencari. Pada waktu beristirahat, Prabu Nagapercona melihat ada sosok yang sedang berteriak menantang dirinya. Dengan rasa ingin tahu, didekatilah sosok itu. Ternyata sosok itu adalah Jabang Tutuka.
Terkejutlah Prabu Nagapercona ketika melihat sosok itu ternyata anak kecil. Ketika sudah dekat dengan Jabang Tutuka, tanpa ba bi bu, Prabu Nagapercona langsung menganyunkan gada raksasanya ke tubuh Jabang Tutuka. Beruntunglah Jabang Tutuka yang sempat menghidar. Dan terjadilah kejar mengejar. Pada suatu kesempatan, melompatlah Jabang Tutuka ke pundak Prabu Nagapercona dan menanggalkan mahkota sang Prabu. Sang Prabu dengan cekatan menangkap Jabang Tutuka dan meremas-remas tubuh Jabang Tutuka, tapi aneh bukannya kesakitan, Jabang Tutuka malah ketawa cekikikan karena geli. Melihat usahanya tidak berhasil, Prabu Nagapercona melempar Jabang Tutuka ke karang dengan maksud membuat mati. Tapi dengan cekatan Jabang Tutuka melompat dari tangan Prabu Nagapercona dan akhirnya dia bebas lagi.
Pertempuran berlanjut dengan seru, Prabu Nagapercona mengejar dan menghantam membabi buta dan Jabang Tutuka dengan lincah menghindar. Sampai-sampai waktu mengejar Jabang Tutuka, Prabu Nagapercona menabrak batu karang dan mengakibatkan giginya copot satu. Dan Jabang Tutuka segera menyambit batu ke muka Prabu Nagapercona dan mengakibatkan mata kirinya bengkak. Meskipun hanya cidera ringan, Prabu Nagapercona merasa terhina oleh derita yang didapat. Langsung saja Prabu Nagapercona melepaskan ajian yang dapat membutakan mata ke arah Jabang Tutuka. Seketika itu juga Jabang Tutuka buta. Tapi Jabang Tutuka tidak menyerah dan tetap melawan. Tapi apa dayanya, Jabang Tutuka sudah tidak dapat melihat. Satu pukulan mendarat dikepalanya, lalu tubuhnya dicekal oleh Prabu Nagapercona dan dibantinglah Jabang Tutuka ke karang runcing. Dan matilah Jabang Tutuka.
Di tempat persembunyian, Batara Narada mengamati pertarungan mereka. Dan menjadi amat bingung melihat Jabang Tutuka mati teraniaya. Setelah Prabu Nagapercona pergi meninggalkan jasad Jabang Tutuka, baru Batara Narada muncul dan menghampiri Jabang Tutuka dan dibawalah jasad Jabang Tutuka ke Suralaya. Para dewata semua bingung atas apa yang terjadi. Mereka takut dan malu karena kalau Bratasena tahu apa yang terjadi dengan anaknya, dia pasti akan menyerang ke Suralaya. Akhirnya para dewata sepakat untuk meminta nasehat dari Batara Guru. Batara Guru menjelaskan kalau dia akan meminta Yang Esa untuk supaya Jabang Tutuka dihidupkan lagi dalam kedewasaannya. Tapi Batara Guru merasa itu saja tidak cukup. Dan memerintahkan supaya Jabang Tutuka dipersakti dengan cara digodok, dan digembleng di Kawah Candradimuka supaya dapat menjadi anak yang dapat melawan Prabu Nagapercona.

Atas permintaan dari Batara Guru, Yang Maha Esa menghidupkan Jabang Tutuka dalam keadaan dewasanya. Pada saat Jabang Tutuka terbangun, dia bingung kenapa dia sudah tumbuh dewasa dan berada ditempat yang sangat indah. Dan dijelaskanlah oleh Batara Narada kalau dia sedang berada di Suralaya dan akan digembleng dikawah Candradimuka untuk menghadapi Prabu Nagapercona. Dengan kebulatan tekad, Jabang Tutuka melompat kedalam kawah Candradimuka yang laharnya panas mendidih berwarna merah-kemerahan. Menurut cerita perwayangan, Jabang Tutuka tidak merasakan panasnya lahar tetapi dingin. Juga dipercaya para dewata mencampurkan tembaga, timah, kawat, intan, dan berlian ke dalam kawah. Baja dan besi pun dicampurkannya untuk membuat sempurna godogan. Terjadi keajaiban lagi, tubuh Jabang Tutuka bertambah besar dan perkasa.
Setelah beberapa saat, keluarlah Jabang Tutuka dari kawah dan disambut oleh para dewata. Kemudian Jabang Tutuka dibawa ke hadapan Batara Guru dan diberi pakaian. Di luar sana, Prabu Nagapercona masih mencoba mendobrak pintu Suralaya. Dan tiba-tiba kepalanya terpukul oleh sesuatu dan tidak ada satupun orang yang melihat apa yang telah memukulnya. Prabu Nagapercona kembali melangkah dan tiba-tiba pukulan datang menghantam pasukannya. Sehingga pasukan dari Gilingwesi lari berantakan karena takut akan pukulan tanpa bayangan. Akhirnya Prabu Nagapercona turun tangan dan menantang perang empu pukulan tanpa bayangan itu.
Munculah Jabang Tutuka dan Prabu Nagapercona tidak mengenal pemuda itu sebagai anak kecil yang telah ia binasakan tempo dulu. Ia memuji pukulan Jabang Tutuka yang keras. Dan meminta pintu Suralaya dibuka. Jabang Tutuka menyetujuinya tapi Prabu Nagapercona harus memenuhi beberapa persyaratan dari Jabang Tutuka. Jabang Tutuka meminta Prabu Nagapercona menyimpan senjatanya lalu bersender di batu gunung sambil menutup mata dan mulut. Jabang Tutuka memerintahkan kalau Prabu Nagapercona melanggar maka akan gagal semua usahnya. Pada kesempatan baik itu, Jabang Tutuka melayangkan pukulan bertubi-tubi ke tubuh Prabu Nagapercona dengan leluasanya.
Marahlah Prabu Nagapercona dan dihajarlah Jabang Tutuka. Pada serangan berikutnya dia gagal mengenai Jabang Tutuka yang cepat seperti kilat. Akhirnya Prabu Nagapercona mengerahkan ajian pernah digunakan untuk membutakan Jabang Tutuka. Tapi kali ini ajiannya tidak berhasil melukai Jabang Tutuka. Jabang Tutuka berkata bahwa dulu dengan ajian itu Prabu Nagapercona bisa membutakan matanya tapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Terkejut setengah mati Prabu Nagapercona mendengar tutur Jabang Tutuka. Karena bukankah Jabang Tutuka telah dia binasakan dan kenapa pula Jabang Tutuka bisa hidup dan menjadi besar dan perkasa seperti sekarang.
Prabu Nagapercona yang lagi bengong memikirkan masalah itu diserang oleh Jabang Tutuka. Satu pukulan dan satu tendangan mendarat di dagu dan dada Prabu Nagapercona. Setelah itu kejar mengejar terjadi lagi dan akhirnya tenaga Prabu Nagapercona mulai meninggalkan tubuhnya. Pada kesempatan itu Jabang Tutuka mengerahkan kekuatan penuhnya untuk memukul Prabu Nagapercona dan binasalah Prabu itu. Ternyata pertarungan itu ditonton oleh para dewata dan rombongan Arjuna. Arjuna dam rombongannya mendapat tugas dari Bratasena untuk mencari tahu kabar Jabang Tutuka. Setelah perang tanding itu dimenangkan oleh Jabang Tutuka, para dewata pun muncul dan mengucapkan selamat atas kemenangannya.
Para dewata memberikan pujian-pujian dan nama-nama untuk Jabang Tutuka. Batara Narada memberi nama Gatot Kaca, Batara Sambo memberi nama Melayangtengah, Batara Darma menjuluki Kancing Jaya, Batara Brahma menjuluki Purabaya, Batara Kamajaya memberi nama Satria Pringgandani, Batara Batu memberi nama Krincingwesi, Batara Surya memberi nama Arimbisuta karena Jabang Tutuka adalah putra dari Dewi Arimbi, Batara Kurewa memberi nama Ideralam, Batara Pulandara menjuluki Bimaputra, Batara Indra memberi nama Suryapringga.

Sementara rombongan Raden Arjuna menghampiri Jabang Tutuka dan menanyakan nama ksatria yang telah membinasakan Raden Nagapercona. Dijelaskanlah oleh para dewa duduk persoalan apa yang terjadi dengan Jabang Tutuka. Dan disuruhlah Jabang Tutuka untuk bersujud didepan Randen Arjuna. Di Pringgandani, Bratasena kedatangan tamu Raden Aradea yang sadar akan kesalahannya dan ingin mengembalikan senjata Konta. Raden Aradea menghadap Raden Bratasena dan meminta maat. Tapi dasar sifat Raden Bratasena yang kasar, setelah mendengar permintaan maaf itu marahlah Raden Bratasena dan menghajar Raden Aradea sampai babak belur. Sungguh beruntung Raden Aradea karena Dewi Arimbi yang baik hati mencegah suaminya karena bukankah Raden Aradea telah minta maaf dan Raden Aradea juga masih ada hubungan saudara dengan suaminya. Pada kesempatan itu kaburlah Raden Aradea dan sejata Konta akhirnya tidak dikembalikan kepada Raden Bratasena.
Pada perang Baratayudha, Raden Aradea yang telah berganti nama menjadi Adipati Karna akan membinasakan Gatot Kaca dengan senjata Konta. Senjata Konta Adipati Karna tembus ke dalam perut Gatot Kaca dan masuk ke sarungnya. Belum puas Raden Bratasena menghajar Raden Aradea, maka dikejarlah Raden Aradea. Tepat diluar istana, langkah Raden Bratasena terhenti oleh rombongan Raden Arjuna beserta Jabang Tutuka. Diterangkanlah apa yang terjadi dengan Jabang Tutuka dan Jabang Tutuka pun memperlihatkan pusarnya kepada ayahnya. Tapi Raden Bratasena tidak mau mengakui begitu saja maka ditantanglah Jabang Tutuka. Jabang Tutuka bersedia tapi tidak mau membalas menyerang dan hanya menghindar dan menangkis. Karena kesaktian Jabang Tutuka yang lincah dan tidak mempan pukulan, akhirnya Raden Bratasena mengaku kalah. Dan diakuilah kalau pemuda itu oleh Raden Bratasena sebagai putranya.



Di dalam hutan, Pandu dan kedua istrinya hidup laksanan pertapa. Mereka tidak lagi mengindahkan keinginan akan kemewahan atau bahkan kekuasaan. Hanya satu hal yang mengganggu pikiran Pandu sesuai kepercayaannya yaitu jika seorang lelaki tidak mempunyai keturunan laki-laki, maka hidupnya akan berakhir di neraka. Tetapi dia sendiri punya masalah dengan hasrat seksual karena kutukan sepasang Rishi yang menuntut kematiannya apabila dia bersenggama dengan istrinya. Oleh karena itu, Pandu membicarakan hal ini dengan kedua istrinya, maksudnya agar kedua istrinya mau mendapatkan anak dari para Rishi yang hidup di hutan. Sama seperti dulu, Pandu juga lahir dari seorang Rishi yang mendatangi ibundanya, janda raja wangsa Kuru.
Alih-alih mendapatkan persetujuan dari kedua istrinya, Pandu mendapatkan pencerahan lain. Hal itu karena Kunti menceritakan anugerah yang pernah diberikan oleh Rishi Durvasa yang mendatangi kerajaan ayahnya. Anugerah berupa mantera untuk memanggil para Dewata agar mendapatkan karunia berupa putra dari mereka. Pandu pun meminta Kunti memanggil Dewa Dharma. Maka lahirlah Yudhistira yang baik kepribadiannya juga bijaksana. Konon rupa Yudhistira sama persis dengan rupa Dewa Dharma.
Setahun kemudian, Pandu meminta Kunti melakukannya lagi. Diundanglah Dewa Vayu (Bayu), Dewa yang terkuat dari antara para Dewa. Dari Dewa Vayu lahirlah Bhimasena yang gagah perkasa. Bahkan dikatakan tidak akan pernah ada orang yang lahir sedemikian kuat melebihi kekuatan Bhimasena. Dan Bhimasena juga seorang yang amat pengasih. Dia begitu melindungi saudara-saudaranya juga memperhatikan sesama manusia. Tahun berikutnya, Pandu kembali meminta Kunti melahirkan anak baginya. Kunti pun memanggil Indradewa, Dewa yang paling termasyhur di antara para Dewa. Dan lahirlah Arjuna. Seorang yang dilahirkan sebagai pahlawan sejati juga memegang teguh ajaran kebenaran.
Melihat anak-anak yang dilahirkan Kunti begitu sempurna masing-masingnya, Pandu pun menginginkan Kunti memanggil kembali Dewa yang lain. Akan tetapi Kunti mengatakan bahwa mantera itu akan melanggar dharma apabila digunakan lebih dari tiga kali. Mendengar hal itu, Pandu pun bersedih. Melihat hal itu, Kunti menjanjikan akan mengajar Madrim, istri Pandu yang lain untuk merapal mantera tersebut. Dan Madrim pun melaksanakan niat itu, dia memanggil Sang Kembar, tabib para Dewata, Ashwin Kumar. Maka Madrim dianugerahi sepasang anak kembar yang tampan-tampan yaitu Nakula dan Sadewa. Tidak cuma tampan, Nakula dan Sadewa memiliki keberanian dan kebijaksaan juga. Bersamaan dengan kelahiran Bhimasena, Permaisuri Gandhari pun melahirkan putera pertamanya yaitu Duryodhana. Setelah itu, istri Raja Dhristrata itu juga melahirkan 99 putera dan 1 orang puteri.
Ketika Duryodhana lahir, Raja Dhristrata mendapatkan firasat yang tidak baik. Dia pun membicarakan hal itu dengan Widura, adiknya yang lahir dari dayang Ibundanya. Widura mengatakan bahwa kelahiran Duryodhana mengawali kejadian yang paling mengerikan yang akan menimpa seluruh keluarga yaitu lenyapnya dinasti Kuru. Akan tetapi karena baru mendapatkan putera mahkota calon penggantinya, Raja Dhristrata tidak menghiraukan firasat dan makna yang diungkapkan oleh Widura. Sementara itu, setelah hidup layaknya pertapa dengan bahagia selama 15 tahun lebih, di saat Kunti dan anak-anaknya berjalan-jalan ke dalam hutan, Pandu hanya tinggal berdua bersama Madrim istrinya di dalam Ashram. Karena sudah lama tidak memadu kasih, Pandu begitu terpesona oleh kecantikan Madri, istrinya itu, hingga lupa akan kutukan sepasang Rishi yang pernah dipanahnya ketika dalam wujud rusa. Sebelum sempat mencumbu istrinya, Pandu pun meninggal.

Madrim sangat terpukul atas kejadian ini. Dia menyalahkan diri tidak bisa menahan nafsu suaminya agar tidak mencumbu dirinya hingga berakibat kematian Pandu. Dia meraung sekeras-kerasnya, hingga terdengar oleh Kunti dan anak-anaknya di dalam hutan. Madrim memutuskan untuk ikut membakar diri bersama dengan pembakaran mayat Pandu. Sementara Kunti yang lebih memikirkan nasib anak-anaknya kelak memilih kembali ke Hastinapura bersama para Pandawa.